17 Agustus 1966
menandai pidato presiden terakhir oleh Soekarno— raungan terakhir singa yang
terluka, disampaikan dalam kondisi fisik
yang buruk selama dua jam berturut-turut, dengan suntikan kekuatan dari kegentingan masa itu. Sejarah, katanya, adalah samudera yang luas dan negara yang baru kita
mulai ini seperti perahu yang berlayar melalui
badai, berada dalam momen genting yang hampir menghancurkan
kesatuan tubuh dan jiwa rakyat kita hingga nyaris sepenuhnya berkeping-keping. Apa yang terjadi
setahun sebelumnya membawa serta salah satu perubahan paling signifikan dalam
peta politik di Indonesia. Pada level terendah, hal ini memengaruhi
hubungan pribadi antara tetangga, keluarga, dan teman. Afiliasi politik
memisahkan orang ke dalam kelompok-kelompok, menciptakan keheningan yang
mencekam dan ketegangan yang berkepanjangan— bahkan di tempat dengan ikatan
sosial yang ketat seperti Kaliurang di mana setiap orang berhubungan. 53 tahun setelah
pidato terakhir disampaikan, jejak singa yang terluka ini masih banyak muncul di desa ini: rumah dimana dia dulu tinggal, seorang
juru masak lokal yang bothok buatannya merupakan makanan favorit sang istri, dan fotonya yang sering hadir di banyak
rumah di sebelah foto keluarga. Kali ini, arwahnya bangkit dengan pidato yang sekali lagi akan
meraung melalui lembah lengang di mana hal-hal yang belum terpahami, suara-suara yang dibungkam, dan sebagian dari memori
kolektif tetap tak dibicarakan.
_____
August 17, 1966 marks the last presidential speech by
Soekarno—the last roar of a wounded lion delivered in poor physical condition
for two hours straight, gaining energy from a certain sense of urgency. History, he said, is like a great ocean and
our young nation is like a boat sailing trough the hurricane, crucial moment
that almost destroy the integrity of the body and soul of our people—to the
point that it is almost completely fragmented.What happened a year before
carried along one of the most significant change in the political map in
Indonesia. At the ground level, it affects the personal relationship between
neighbors, family, and friends. Political affiliation separate people into
groups, creating an eerie silence and lingering tension—even in a place with
such a tight social knit as Kaliurang where everyone are related. 53 years
after the last speech was delivered, traces of the wounded lion are still very
much present: the house where he used to stay, local cook whose ‘bothok’ is
favorite of his wife, and his picture casually present in many houses next to
family pictures. This time, his ghost resurrect and he will once again roar
through the sleepy valley where things has yet to be understood, voices
silenced, and a part of a collective memory remain undiscussed.
Site #06: Rumah Putih Grenzenberg / Pesanggrahan Sarjanawiyata
Jl.Tlogo Nirmolo - Kaliurang(link of photos to Agung Kurniawan's work)