Alkisah terdapat tiga perempuan misterius yang
terkadang dapat digapai, elegan sekaligus sensual, dan mereka mencuri banyak hati
pria dari desa hingga kota. Bagi sebagian
orang, mereka tetap menjadi fantasi. Bagi sebagian yang lain, mereka
adalah para kekasih. Dalam
kehidupan sehari-hari, ketiga perempuan itu melakukan
kehidupan sosial yang aktif — menawarkan bantuan kepada tetangga yang
membutuhkan, berpakaian sopan namun tetap pantas, dan tak pernah
melewatkan satupun pertemuan warga. Terkadang mereka menjual kudapan lokal di
malam hari. Ketika dagangannya habis, mereka mungkin akan menyelinap bersama
pekat malam dalam dekapan pria yang beruntung. Arief Budiman menggunakan
pendekatan kisah sastrawi tentang tiga orang primadona dari sebuah desa dan
membuatnya menjadi sebuah instalasi video yang mirip dengan drama radio di masa
itu. Dia mencoba membayangkan bagaimana para perempuan ini hidup dan apa yang
mereka bicarakan di balik pintu kamar mereka; mencuri hati pria layaknya sebuah
permainan sekaligus memimpikan sebuah kehidupan pernikahan mapan yang bukan
cinta sesaat atau transaksi semata. Di masa yang sama, banyak film Indonesia
yang diproduksi dengan gaya sensual semacam itu, membuat menteri penerangan
membuat sebuah keputusan pada tahun 1977 untuk meminimalkan gesekan
antara pembuat film dan moral warga, disiplin nasional,
dan kepatuhan kepada Tuhan yang mahakuasa— titik awal bagi kontrol dan
intervensi negara dalam ranah pribadi tiap individu.
_____
Once there were three ladies who are mysterious yet
attainable, elegant yet sensual, and they stole a lot of men’s hearts from the
village all the ways to the city. To some, they remain a fantasy. To the
others, they are a lover. In their day-to-day life, the three ladies conducts
an active social lives—offering helps to neighbors in needs, dressing modestly,
never miss a single community gathering. They sometime sell local delicacies on
a night event. Once the snacks were sold, they might slip away through the
night in the arm of a lucky man. Arief Budiman uses the literature-like stories
of the three primadonnas of the village to create a video installation with a
typical radio drama narrative from that period. He tried to imagine how these
ladies live and what they talk about behind closed door; stealing man’s heart
like a game yet dreaming of a settle married life beyond temporary love and
transactions. At the same period, a lot of Indonesian movie was produced in
such a sensual style, forcing the minister of information Ali Moertopo to
create an ethical code to minimize the friction between film-maker and the
citizen’s moral, national discipline, and submission to God almighty—a starting
point of state control and intervention to the personal realm of an
individual.
Site #09 – Wisma B.I.P.
Jl.Siaga– Kaliurang
Jl.Siaga– Kaliurang