"Tempat apa ini? Apakah ini situs konservasi? Sekilas tampaknya membuat saya berpikir bahwa ini bukan." Pertanyaan spontan itu dilontarkan oleh teman saya, seorang mahasiswa arsitektur dari Jepang, ketika mengunjungi beberapa tempat konservasi di Yogyakarta. Saat itu, kami sedang mengikuti workshop mengenai pelestarian cagar budaya yang berkaitan dengan arsitektur. Kami berkesempatan mengunjungi beberapa situs yang dilindungi pemerintah, karena berstatus "Bangunan Cagar Budaya". Selain mengunjungi tempat-tempat yang lebih dikenal, seperti Kotagede (kota tua bekas ibukota Kesultanan Mataram), Malioboro (jalan yang dibangun sebagai poros imajiner antara Pantai Selatan, Keraton Jogja dan Gunung Merapi) dan Kotabaru (kawasan kolonial Belanda), yang merupakan tujuan wisata yang lebih populer, kegiatan ini juga memungkinkan kami untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di daerah-daerah yang memiliki sejarah kerajaan, seperti Imogiri (kompleks kuburan kerajaan), Pakualaman (area istana atau Puro Pakualaman milik Pangeran Paku Alam yang berada di dalam Kesultanan Yogyakarta), dan Dalem Jeron Benteng Mangkubumen (kawasan sekitar Jeron Benteng yang diberikan kepada kerabat Keluarga Keraton). Teman saya mengungkapkan rasa penasaran ini saat kami berjalan di sekitar Kotabaru. Dia agak bingung seperti apa seharusnya kawasan konservasi di Yogyakarta, karena menurutnya situs yang kami kunjungi tidak tampak istimewa, melainkan biasa dan menjadi bagian langsung dari kehidupan sehari-hari. Kebingungannya menyadarkan saya bahwa banyak orang di Yogyakarta sebenarnya tidak mengetahui situs cagar budaya, apalagi sejarah di baliknya, tetapi juga bahwa hal ini sedikit banyak bisa menjadi keuntungan.
Selain menghadirkan bangunan itu sendiri beserta area sekitarnya, situs cagar budaya yang kami kunjungi juga menyajikan hal lain; kehidupan yang terjadi di dalamnya. Orang-orang masih tinggal dan bekerja di bangunan-bangunan ini, mereka menggunakannya meskipun bangunan tersebut berstatus bangunan cagar budaya. Jika dibandingkan dengan situs cagar budaya di negara lain, ini berbeda dari biasanya karena di negara lain situs cagar budaya umumnya diisolasi dari kehidupan sehari-hari dan diperlakukan sebagai material testimoni masa lalu yang kokoh. Bangunan tersebut mendapatkan perlakuan khusus berkaitan dengan konservasi bangunan, dengan ukuran yang sangat ketat terkait pemeliharaan dan pelestarian nilai budaya dan sejarah, seolah-olah menjadi objek yang dipamerkan di museum. Sebaliknya, Kotagede misalnya, menunjukkan adanya hidup yang berdampingan antara situs cagar budaya dan lingkungan sekitar. Dengan arsitektur bergaya Belanda dan tradisional Jawa sebagai latarnya, penduduk setempat menjalankan aktivitasnya sehari-hari tanpa terganggu dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung dan berfoto, seolah menjadi bagian dari tontonan. Contoh lainnya adalah rumah-rumah di area Dalem Jeron Benteng Mangkubumen. Dahulu, kawasan ini dibangun sebagai tempat tinggal kerajaan yang bernama Dalem Kadipaten. Saat ini, beberapa bangunan di kompleks Dalem Mangkubumen digunakan oleh Yayasan Mataram untuk menyelenggarakan program pendidikan bagi Universitas Widya Mataram. Seiring berjalannya waktu, masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar area tersebut mulai membangun rumah tanpa izin, yang perlahan mengubah formasi situsnya. Kediaman kerajaan sudah tidak terlihat lagi, tetapi di balik rumah-rumah tersebut masih terdapat sisa-sisa masa lalu yang tersembunyi: sebuah kolam renang yang pernah menjadi bagian darinya.
Bangunan Cagar Budaya mengalami proses degradasi dari waktu ke waktu,
yang mengarah pada situasi di mana bangunan tersebut tidak dapat memenuhi
tujuan awal pembangunannya. Jika hal ini terus berlanjut, bangunan tersebut
akan menjadi tua dan rusak, dan pada akhirnya akan dibongkar atau runtuh dengan
sendirinya. Ketika tidak ada bentuk dukungan atau sarana keuangan untuk
memulihkan bangunan cagar budaya, mereka dibiarkan hancur, membuka jalan untuk
pembongkaran yang sebelumnya tertunda dan pembangunan perumahan baru. Hal ini
membawa kita pada salah satu isu inti dalam politik pembentukan cagar budaya di
Indonesia: siapa yang bertanggung jawab atas Bangunan Cagar Budaya? Dan,
kembali ke pertanyaan yang diajukan teman saya, sambil berandai-andai mengapa
tempat-tempat tertentu merupakan situs konservasi, ia mungkin juga bertanya:
apa yang menjadikan sebuah bangunan dan / atau situs sebagai objek konservasi
dan cagar budaya? Siapa yang berhak atau memiliki kuasa untuk memilih objek-objek
ini (atau malah membiarkannya rusak)? Atas dasar apa pilihan ini dibuat, dan
mengapa hal tersebut menjadi penting? Pertanyaan-pertanyaan ini sejalan dengan
keinginan yang bertentangan atas pelestarian jangka panjang sejarah masa lalu
untuk generasi mendatang, beriringan dengan pertumbuhan ekonomi jangka pendek,
keuntungan finansial dan prestise budaya untuk wilayah tersebut.
Perilaku dalam Menyikapi
Bangunan Tua
Hingga saat ini keberadaan
bangunan / situs cagar budaya dan sejarah (dengan atau tanpa status resmi)
masih terancam, karena masih belum mendapat perhatian yang memadai dari
pemerintah daerah dan masyarakat yang mengelola kebijakan terkait cagar budaya
yang rancu, serta dari pemiliknya yang tidak terdukung karena peraturan yang
tidak menguntungkan dan kendala keuangan. Salah satu contoh praktik kebijakan
pemerintah yang rancu adalah Pesanggrahan Ambarukmo, sebuah Bangunan Cagar
Budaya milik Kesultanan Yogyakarta. Dibangun pada paruh pertama abad
kesembilan-belas di bawah Sultan Hamengku Buwono V, Pesanggrahan Ambarukmo dulu
digunakan sebagai tempat menerima tamu-tamu Sultan, dan kemudian berubah
menjadi restoran dan digunakan untuk lokasi pernikahan. Pada tahun 1960, Gendok
Kiwo, bagian kiri bangunan tersebut dihancurkan untuk membangun Hotel
Ambarukmo. Setelah itu, pada tahun 2006, Ambarukmo Plaza, sebuah pusat
perbelanjaan, menabrak Gendok Tengen, sisi kanan bangunan tersebut, akibat dari
konstruksi ilegal yang melebihi batas site yang telah ditentukan. Ironisnya,
kedua konstruksi tersebut disepakati oleh Kesultanan Yogyakarta, yang
seharusnya turut melindungi dan melestarikan Bangunan Cagar Budaya tersebut.
Saat perencanaan pembangunan Plaza Ambarukmo sedang berlangsung, Sultan sendiri
memastikan akan mengawasi pembangunan tersebut dan tidak akan membiarkan
Pesanggrahan Ambarukmo tersentuh. Sayangnya, bangunan Jawa kuno itu terpaksa
menyatu dengan modernisasi. Separuh dari Gendok Tengen dibongkar dan tembok Plaza
Ambarukmo bertengger di atap Pesanggrahan Ambarukmo. Alhasil, dinding bagian
dalam Gendok Tengen tidak lagi asli, digantikan oleh tembok Ambarukmo Plaza
yang digunakan sebagai jalur keluar kendaraan dari tempat parkir bawah tanah
dan sama sekali tidak terintegrasi dengan arsitektur bangunan-bangunan tua
tersebut.
Salah satu perhatian utama
yang dirasakan oleh banyak pemilik Bangunan Cagar Budaya adalah sangat
terbatasnya dana cagar budaya. Menurut Tjahjono Raharjo, dosen arsitektur
sekaligus ketua Persatuan Sobokartti, yang meneliti perkembangan cagar budaya
di Kota Lama, pusat kota Semarang jaman dahulu, banyak pemilik bangunan tua
bersejarah yang kesulitan memelihara bangunannya karena ketiadaan dana untuk
pemeliharaan.[1] Oleh karena itu, beberapa diantara
pemilik tersebut berkeberatan jika bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya,
bahkan ada yang meminta agar status tersebut dicabut. Salah satu masalah utama
adalah bahwa Bangunan Cagar Budaya tidak dapat dijual dan diubah menjadi bentuk
uang sebagai warisan ketika pemiliknya meninggal, sedangkan ahli waris
seringkali tidak dapat memelihara bangunan tersebut dan lebih membutuhkannya
dalam bentuk uang. Menurut Rukardi, Ketua Komunitas Pegiat Sejarah Semarang,
kurangnya dana pemerintah untuk melestarikan Bangunan Cagar Budaya mendorong
beberapa pemilik sengaja meninggalkan bangunannya dengan harapan akan roboh
dengan sendirinya, setelah itu. mereka dapat membangun gedung baru yang tidak
memiliki label dan dapat dengan mudah dijual. [2]
Meski sudah dikatakan akan
ada dukungan dan pendampingan untuk pemeliharaan bangunan cagar budaya, pemilik
menganggap status cagar budaya tersebut merugikan, karena adanya pembatasan
yang diberlakukan jika terjadi renovasi. Terlebih lagi, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kebijakan Cagar Budaya, renovasi yang merusak atau
menghancurkan suatu Bangunan Cagar Budaya kini dianggap sebagai tindak pidana
yang mengakibatkan hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15
tahun dan / atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[3]
Oleh karena itu, kebijakan ini secara signifikan membatasi apa yang dapat
dilakukan pemilik atas propertinya sendiri.
Sikap Sultan dan pemerintah
di Yogyakarta mencerminkan pesimisme terhadap pelestarian cagar budaya. Hal ini
terlihat cukup memprihatinkan, dalam sejumlah kasus dikorbankannya Bangunan
Cagar Budaya untuk mendirikan bangunan komersial yang pada umumnya berkedok kepentingan
ekonomi yang akan membantu meningkatkan pendapatan di daerah tersebut. Namun,
keuntungan ekonomi (yang seringkali oportunistik) ini sejalan dengan hilangnya
bangunan bernilai sejarah yang tidak pernah dapat diganti, dan penghapusan
identitas budaya lokal. Bangunan bersejarah dapat dilihat sebagai saksi dan
bukti nyata atas apa yang terjadi di masa lalu. Pemeliharaan bangunan tersebut
juga memungkinkan keberlanjutan sejarah yang mereka bawa dan memungkinkan
mereka untuk melampaui masa depan. Bangunan peninggalan dan situs sejarah
berperan dalam menghubungkan sejarah dan cerita masa lalu. Ketika bangunan tua
ini hilang, nilai-nilai yang ada di dalamnya kemudian tergeser atau hilang,
seringkali ditimpa oleh bangunan modern yang cenderung kurang memperhatikan
konteks dan lingkungannya. Penting bagi sejarah untuk terus hidup dalam sesuatu
yang material, tetapi sama pentingnya dengan memiliki material (objek,
bangunan, situs) yang atas keberadaannya kita dapat memproyeksikan sejarah. Dengan
kata lain, materi yang berfungsi sebagai penghubung diskusi publik, imajinasi
dan revaluasi nilai dan identitas secara terus menerus.
Kegiatan konservasi bangunan dan area bersejarah tidak hanya menjadi upaya
melestarikan dan memelihara benda-benda arsitektur, tetapi juga dalam
melindungi nilai-nilai budaya dan komunal dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat luas. Di Semarang, kawasan kolonial bersejarah Kota Lama telah
dihidupkan kembali untuk tujuan ekonomi dan dikembangkan menjadi tujuan wisata
populer. Dalam upaya menjaga dan melestarikan bangunan cagar budaya, hal ini
dipandang sebagai strategi yang sangat menguntungkan baik bagi warga maupun
pemerintah. Namun cara revitalisasi ini dikoordinasikan dan diimplementasikan
dengan semua karakteristik dari proses gentrifikasi. Pertanyaannya kemudian
adalah bagaimana kita dapat menemukan model pelestarian dan pemeliharaan cagar
budaya yang menggunakan bentuk-bentuk pariwisata dan pendidikan untuk mendukung
ekonomi lokal tanpa mengorbankan kualitas kehidupan sehari-hari masyarakat?
Bangunan Tua di Kaliurang
Kaliurang adalah sebuah kawasan wisata alam di Yogyakarta yang terkenal
dengan iklimnya yang menyejukkan dan pemandangan Gunung Merapi yang megah.
Dibandingkan dengan desa-desa tetangga lainnya, Kaliurang berhasil berulang
kali terhindar dari bencana erupsi gunung berapi, itulah sebabnya tata letak
aslinya sangat terjaga dengan baik. Desa ini didirikan sebagai hill station
(kota peristirahatan yang dibangun dan diperuntukan kolonial Belanda) dan resor
liburan musim panas bagi orang Belanda yang ingin melarikan diri dari iklim
tropis Yogyakarta yang hangat. Banyak bungalow kolonial yang masih hadir,
menjadi saksi sejarah pendirian desa ini sebagai daerah peristirahatan
kolonial, dan perkembangannya menjadi tujuan wisata seperti saat ini. Bersama
dengan keindahan alam sekitar dan masakan lokal yang unik, bungalow-bungalow
ini menjadi ciri utama desa. Namun, yang jarang diketahui adalah bahwa
Kaliurang menjadi latar belakang serangkaian negosiasi penting di awal masa
kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1946-1949, ketika beberapa konflik antara Belanda dan Indonesia
muncul, sejumlah perundingan terkait kemerdekaan pun digelar. Salah satu
peristiwa ini mengarah ke Perundingan Kaliurang. Perundingan Kaliurang
berlangsung pada tanggal 13 Januari 1948 antara Republik Indonesia dengan
Komisi Tiga Negara [Committee of Good Offices] yang terdiri dari Australia,
Belgia dan Amerika Serikat. Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan beberapa
bangunan miliknya, Pesanggrahan Ngeksigondo dan Wisma Kaliurang, untuk
persiapan dan pelaksanaan negosiasi.[4]
Negosiasi yang sama juga membahas Notulen Kaliurang terkait dengan posisi
Republik Indonesia dalam konteks Perjanjian Renville.[5]
Syarat-syarat perjanjian Renville— masa transisi menuju pembentukan RIS
(Republik Indonesia Serikat), di mana Belanda akan memiliki kedaulatan penuh
atas Indonesia, kemudian dipertanyakan dan dipersoalkan ketika posisi Republik
Indonesia yang telah berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat penuh,
didukung oleh tentaranya sendiri dan hubungan langsung dengan negara asing.
Seorang anggota dari Komisi Tiga Negara, Prof. Graham, menjelaskan dengan
kata-katanya sendiri: “You are what You are, from bullets to ballots,” yang
diartikan oleh Republik sebagai pilihan untuk mempertahankan posisi
independennya. Atas dasar itu, Republik Indonesia menandatangani Perjanjian
Renville. Namun, ketika diratifikasi pada 17 Januari 1948, kesepakatan tersebut
tidak berhasil menyelesaikan perselisihan.[6] Ia malah mengakui gencatan senjata di sepanjang
perbatasan sementara atau Status Quo lijn [Garis Status Quo], yang
menghubungkan area-area di bawah kekuasaan Belanda, namun perang tidak berhenti
dan upaya diplomatik antara Belanda dan Republik terus berlanjut sepanjang
tahun 1948 dan 1949.
Meskipun Kaliurang memiliki latar belakang sejarah yang menarik dan
penting, namun sedikit perhatian yang diberikan. Beberapa pihak seperti BP3
DIY, Bappeda Kabupaten Sleman, dan Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman telah
mencoba memperlihatkan pentingnya desa dan cagar budaya, namun sejauh ini
satu-satunya bangunan yang mendapat perlakuan khusus di desa ini adalah
Pesanggrahan Ngeksigondo.[7] Masih banyak bangunan lain yang juga layak mendapatkan perlakuan yang
sama. Namun, Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman hanya memandang Kaliurang
sebagai kawasan peningkatan pariwisata, sedangkan nilai sejarah budaya desa
tidak memiliki andil di dalamnya, padahal banyak perubahan yang bisa dilakukan,
seperti mempromosikan bungalow kolonial yang menjadi saksi nyata perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana Bangunan Tua
Menjadi Saksi Mata Sejarah (Cerita)
Sejak tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda membangun beberapa bungalow di Kaliurang, dengan menggemakan tipologi arsitektur yang mereka kenal, sebagai penawar kerinduan mereka atas rumah. Wisma Kaliurang yang sudah dibangun pada tahun 1910-an merupakan salah satu bangunan kolonial pertama di Kaliurang. Terletak di daerah loji [daerah penginapan], bangunan ini dibangun dan dimiliki oleh keluarga Belanda, yang kemudian dibeli oleh Tuan Leh Meyer, seorang pengusaha asal Jerman.[8] Tuan Leh Meyer mengubah bangunan ini menjadi hotel komersial. Menyusul kesuksesannya, hotel ini dilengkapi dengan adanya kantor pos, dan merupakan bangunan pertama yang memiliki aliran listrik. Kesuksesan komersial Hotel Leh Meyer menjadi contoh awal bagi Kaliurang, dan tak lama kemudian banyak penginapan-penginapan bermunculan.
Tuan Leh Meyer meninggalkan
hotelnya ketika Jepang tiba pada masa perang dunia kedua, setelah itu bangunan
ini dikelola oleh penduduk setempat yang mengganti namanya menjadi Wisma
Kaliurang.[9] Wisma Kaliurang difungsikan sebagai
penginapan yang biasa digunakan untuk acara akhir pekan oleh anak muda dan
komunitas. Meski masih digunakan hingga saat ini, bangunan tersebut saat ini
dalam kondisi yang buruk dan sudah lama tidak dirawat. Secara arsitektural, ada
penggabungan dan ruang tambahan yang melekat pada bangunan ini, yang menutupi
wujud asli bangunan tanpa memperhatikan bentuk asli bagian muka atau tata letak
denah lantai. Oleh karena itu, beberapa bagian tidak berfungsi dan tidak
digunakan lagi karena kondisinya yang buruk. Namun hal yang tidak diketahui banyak
orang adalah bahwa pada saat Perjanjian Kaliurang, delegasi Belanda menggunakan
Wisma Kaliurang sebagai tempat menginap.[10]
Pelestarian bangunan cagar budaya seperti bangunan Wisma Kaliurang dapat
membuka potensi sejarah (cerita) masa lalu yang terhubung dengan masa kini dan
masa depan. Wisma Kaliurang, bersama dengan bangunan kolonial yang di
sekitarnya, dapat dibaca sebagai simbol peran desa dalam peralihan kekuasaan
selama revolusi kemerdekaan Indonesia karena dapat menjadi objek dari makna
yang berlapis dan fungsi yang berkaitan dengan arsitektur kolonial, sejarah
pendudukan Belanda, dan bagaimana hal-hal ini mempengaruhi wilayah Kaliurang.
Penggunaan Bangunan Tua oleh Orang Lokal
Mayoritas pemilik asli bangunan kolonial di Kaliurang adalah orang Belanda
dan pasca kemerdekaan bangunan tersebut dijual kepada pengusaha, investor dan
orang asing atau diambil alih oleh pemerintah. Berdasarkan tulisan Angelica
Herdy Andani dalam risetnya berjudul ”Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di
Kaliurang” (2011), saat ini sebagian besar bungalow dimiliki oleh pemerintah
Yogyakarta yang memeliharanya setelah ditinggalkan oleh pemilik aslinya.
Pemilik baru sering mendelegasikan tanggung jawab pemeliharaan bungalow kepada
"penjaga" dan "pengasuh" yang telah bekerja sebagai
pengawas sejak 1920-1940, ketika sebagian besar bangunan dibangun. Para
penjaga, yang pada umumnya merupakan warga Kaliurang, memainkan peran penting
dalam memelihara dan melestarikan bungalow, tidak hanya meneruskan pekerjaan
dari generasi ke generasi tetapi juga dalam menyebarkan sejarah (cerita)
terkait bangunan tersebut. Karena mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang
bangunan tersebut, mereka menghargai bahwa apa yang mereka jaga memiliki nilai
budaya.
Ketika pemiliknya sedang tidak berada di tempat, bangunan-bangunan ini
umumnya disewakan, sebuah kegiatan yang dikelola oleh penjaga atau pengurus
bangunan tersebut untuk memastikan kelangsungan hidup di desa, dan memberikan
fungsi dan tujuan lain pada bangunan tersebut. Pengunjung yang datang dan pergi
meninggalkan jejak serta memberikan kehidupan baru pada bangunan tersebut.
Selain itu, untuk memastikan bangunan rumah-rumah tersebut berada dalam kondisi
yang terawat, para penjaga secara rutin memperbaiki dan memelihara bangunan
tersebut sebagai bagian dari pekerjaannya. Dengan melakukan hal-hal tersebut,
para penjaga secara mandiri mengembangkan bungalow ini dengan cara menjaga
karakteristik keindahannya tanpa harus secara langsung melestarikannya sebagai wujud
kokoh serupa monumen.
Saat melakukan penelitian di Kaliurang serta mengikuti proses biennale
900mdpl, saya merasa peran masyarakat lokal dalam melestarikan sejarah (cerita)
dan bangunan di desa lebih bermakna dan berdampak dibandingkan dengan pemerintah
atau pemilik asli dari bangunan itu. Dalam kasus BP3 DIY yang melakukan
penelitian di Pesanggrahan Ngeksigondo dari tahun 1984-1985, hasil yang
diperoleh masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, penelitian ini lebih merupakan
studi kelayakan teknis yang hanya berfokus pada satu bangunan sebagai bagian
perangkat desa, yang menghasilkan laporan tentang rekomendasi restorasi.[11]
Sementara itu, setelah melihat pameran 900mdpl ke-2 pada tahun 2019 yang
menggunakan kawasan loji sebagai lokasi utamanya, masyarakat setempat menjadi
sadar akan potensi wisata kawasan ini, sekaligus pada saat yang sama, menyadari
bahaya kehancurannya oleh developer, investor dan jaringan hotel besar. Salah
satu organisasi masyarakat setempat, Kaliurang Explore, ingin mengembangkan
wisata menjelajahi rumah-rumah kolonial dan sejarah (cerita) mereka. Baru-baru
ini mereka menemukan bahwa situs PPAY (salah satu situs bungalow di daerah loji),
dalam bahaya karena akan dijual dan dibongkar untuk pengembangan bisnis baru.
Berangkat dari rasa tanggung jawab atas pelestarian cagar budaya, sejak saat
itu mereka berjuang melawannya dan berharap agar pemiliknya tidak menjual
bangunan itu agar dapat dirawat oleh masyarakat sekitar.
Dalam pandangan saya, perjumpaan dengan bangunan dan situs bersejarah— baik
dalam kasus bungalow kolonial di Kaliurang atau situs kerajaan di Yogyakarta,
dan apakah secara resmi diakui sebagai warisan atau tidak — dapat menjadi
kesempatan yang baik untuk meningkatkan kesadaran atas sejarah dan cerita dari
masa lalu, serta memberikan wawasan tentang konstelasi lokal dan global saat
ini. Seperti yang terlihat dari berbagai contoh yang didiskusikan, masyarakat
merupakan pihak yang memainkan peran penting dalam memelihara bangunan
bersejarah yang mereka tinggali meski cara melakukannya berbeda dari satu
tempat ke tempat lain dan tanggung jawab sering dilakukan karena alasan yang
berbeda.
Contohnya di lingkungan sekitar Antara Dua Gerbang di Kotagede dan Dalem
Jeron Beteng di Yogyakarta menunjukkan bahwa masyarakat telah mengadaptasi
bangunan bersejarah yang mereka tempati dengan cara merawat dan menyesuaikannya
dari waktu ke waktu. Namun, berbeda dengan apa yang dicapai oleh masyarakat
sekitar Kaliurang yang secara alamiah mempertahankan kawasan loji dalam keadaan
semula, tekanan terhadap perumahan di perkotaan yang mendesak agar pembangunan
gedung-gedung “baru” seringkali dibangun tanpa izin atau aturan. “Serbuan
pembangunan” ini, yang dimulai pada 1980-an ketika ekonomi Indonesia berkembang
pesat, menciptakan lingkungan yang padat dan tumbuh secara organik dimana
situs-situs penting secara historis sering kali terdorong dan menjadi latar
belakang dari pembangunan ini kemudian perlahan-lahan terhapus dari pandangan.
Sebuah proses yang masih berlanjut sampai sekarang.
Kota Lama di Semarang menghadapkan kita pada bahaya terjerumus ke dalam
perangkap regulasi cagar budaya internasional yang seringkali terputus dengan
realitas lokal, mengakibatkan gentrifikasi, pariwisata massal, dan hilangnya
makna. Namun, strategi revitalisasi Kota Lama yang berbasis pariwisata sebagai
model untuk menghasilkan pendapatan ekonomi, dengan memastikan biaya
pemeliharaan gedung dapat terbayar, menawarkan potensi yang solutif. Tapi tentu
saja, hanya jika menghindari gentrifikasi dan melibatkan masyarakat lokal yang
lebih memahami bangunan dan sejarah (cerita) di daerah tersebut. Pariwisata
dapat digabungkan dengan aspek lain, misalnya berbagai bentuk edukasi. Wisata
yang dibayangkan oleh Kaliurang Explore, misalnya, masih memungkinkan bungalow
berfungsi sebagai villa atau wisma. Pada kasus kawasan loji di Kaliurang,
merupakan contoh yang baik dari strategi cagar budaya berbasis masyarakat yang
memadukan aspek kegiatan kehidupan sehari-hari, model keuangan, dan
pelestarian. Hal ini tidak diambil alih secara sewenang-wenang oleh pemerintah
atau developer besar untuk mengejar status cagar budaya dan keuntungan
finansial, melainkan dilakukan sebagai tanggung jawab pelestarian bangunan yang
merawat sejarah dan cerita penting dari masa lalu.
[1] “Mengapa sulit melindungi bangunan cagar
budaya di Semarnag?”, BBC News Indonesia,
5 Agustus, 2015, https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150805_majalah_cagarbudaya_semarang
[2] “Mengapa sulit melindungi bangunan
cagar budaya di Semarnag?”, BBC News
Indonesia, 5 Agustus, 2015, https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150805_majalah_cagarbudaya_semarang
[3] Undang-undang
No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Bab XI Ketentuan Pidana
[4] Angelica Herdy Andani, "Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial
di Kaliurang" (Skripsi, Universitas Gadjah Mada, 2011), 26.
[5] Ensiklopedi
Umum (PENERBIT KANISIUS, 1973), 2.
[6] Britannica Encyclopedia, Renville Agreement, https://www.britannica.com/event/Renville-Agreement
[7] Angelica Herdy Andani, Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di Kaliurang, 6.
[8] Area kolonial yang berada di
Kaliurang bagian atas atau lebih tinggi, oleh warga dipanggil dengan sebutan
area Loji (bangunan loji); Angelica
Herdy Andani, Strategi Pelestarian
Bangunan Kolonial di Kaliurang, 67.
[9] Angelica Herdy Andani, Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di
Kaliurang, 67.
[10] Angelica Herdy Andani, Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di
Kaliurang, 67.
[11] Angelica Herdy Andani, Strategi Pelestarian Bangunan Kolonial di
Kaliurang, 6.