Sepuluh
tahun setelah Sitor Situmorang muda menerjemahkan sebuah puisi dari Multatuli
yang memicu nasionalisme dan ketertarikannya pada sastra, puisi pertamanya “Kaliurang
(Tengah Hari)” ditulis. Judul karya Fyerool Darma mengambil referensi dari bait
terakhir dalam puisi Sitor: 'Mati, kita bersatu lagi'. Dalam pandangan Fyerool,
'Mati, kita bersatu lagi' merupakan sebagai sebuah tawaran alih-alih sebuah
pernyataan sikap. Karya ini merupakan usaha penerjemahan bukti-bukti tekstual
dan arsip yang Fyerool hadapi dan pertimbangkan dari jarak jauh—seperti apa
yang ada di internet dan dunia nyata (pengalaman dan kecemasan yang dia hadapi
dan diraih selama berada di Kaliurang). Dia memilih sisa lokasi tennisbaan,
sebuah tempat hiburan masa kolonial sebagai situs untuk memasang karyanya.
Jaring tenis menjadi alat mengumpulkan barang-barang yang ia terima atau
peroleh dari percakapannya dengan penduduk setempat, turis, dan apapun yang
didapat dari perjalanan-perjalanan yang dia lakukan. Pada malam hari, wujud
halus dari bangunan tennisbaan yang telah lama ditinggalkan akan kembali
terlihat dengan mata telanjang melalui cahaya phantasmic. Di situs yang sama,
sang seniman menemukan nama penyair Belanda-Indonesia yang tinggal di
Kaliurang, G.J. van Resink. Salah satu puisinya 'Soeling on Kali-Oerang'
membawa nuansa yang sama dengan puisi Sitor dan Multatuli; menunjukkan bahwa
barangkali, kematian adalah liburan terakhir.
_____
Ten
years after young Sitor Situmorang translated a poem by Multatuli that
triggered his nationalism and interest in literature, his first poem “Kaliurang
(Tengah Hari)” was written. The title of Fyerool’s work takes reference from
the last stanza in Sitor’s poem: ‘Mati, kita bersatu lagi’. For him, ’Mati,
kita bersatu lagi’ (in death, we meet again) is set as an enquiry rather than a
certain stance. The work is an exercise in translating textual and archival
evidences that Fyerool confronted and deliberated from distances like the
internet and in-real-time (his experiences and the anxieties he confronted and
embraced during his time in Kaliurang). An old tennisbaan— a colonial vacation
site, is used for his installation. Tennis net becomes a vitrine for the
assembly of items he received or acquired from conversations he had with the
locals, tourists, and his deliberations from the walks he conducted. At night,
phantom of the tennisbaan that was long abandoned will be once again visible to
naked eyes through its phantasm glow. At the same site, the artist found a name
of a Dutch-Indonesian poet who used to live in Kaliurang, G.J. van Resink. One
of his poetry 'Soeling on Kali-Oerang' carries the same nuance with that of
Sitor’s and Multatuli’s; suggesting that maybe, death is the final vacation.
Site
#02: Tennisbaan
Jl.Boyong– Kaliurang