Pak Tarman dan pak Ibnu memilih wayang sebagai metode presentasi dalam memaknai kegelisahannya atas Kaliurang sebagai area wisata dan berbagai situasi nyata atas krisis iklim dunia dalam kehidupan sehari-hari. Mereka merasa bahwa pengetahuan, diskusi, dan pengalaman mingguan mereka dalam membicarakan krisis iklim perlu diteruskan ke publik yang lebih luas. Wayang dipilih sebagai bentuk transmisi pengetahuan dan ajakan untuk melestarikan alam sekitar yang dengan mudah bisa diterima oleh masyarakat luas.
Lakon pertama berjudul
“Ontran-Ontran Alas Ponteng” membawa pesan atas kelestarian alam di tengah
pembangunan ekonomi dan pariwisata sekaligus menceritakan tentang sistem
pengobatan tradisional yang digunakan oleh para pencari rumput saat terluka di
hutan. Lakon kedua berjudul “Murcane Wit Pule Mayang Sekar” bercerita tentang
hilangnya pohon-pohon besar dan pentingnya menjaga pohon-pohon tersebut untuk
kelestarian alam dan ketersediaan air bersih.
Naskah bagi cerita
wayang tersebut dibuat oleh Pak Tarman dan dipentaskan oleh pak Ibnu sebagai
dalang. Pertunjukan wayang ini berlangsung singkat, kontemporer, dan tidak
sepenuhnya mengikuti pakem pewayangan– karenanya disebut sebagai Wayang Tanpo
Aran. Diiringi oleh kelompok gamelan NKRI (Nindakake Karawitan Religi Islami),
pertunjukan dua babak ini tampil di hari pembukaan, di hadapan masyarakat luas
dan pemangku kebijakan.
_____
Pak Tarman and Pak
Ibnu chose wayang as a presentation method in interpreting their concern over
Kaliurang as a tourist area and its multiple issues regarding the world climate
crisis in their daily lives. They feel
that their knowledge and weekly experiences in discussing the climate crisis
need to be passed on to the wider public.
Puppets were chosen as a form of transmitting knowledge and a friendly
invitation to preserve nature that could easily be accepted by the wider
community.
The first play
entitled “Ontran-Ontran Alas Ponteng” conveys a message of nature conservation
in the midst of economic development and tourism as well as tells about the
traditional medicine system used by grass forager when injured in the forest. The second play entitled “Murcane Wit Pule
Mayang Sekar” tells about the loss of large trees and the importance of keeping
these trees for the preservation of nature and the availability of clean water.
The script for the
wayang story was written by Mr. Tarman and staged by Mr. Ibnu as the puppeteer.
This wayang show is short, contemporary, and does not fully follow the standard
of wayang– thus getting the name of ‘wayang tanpa aran’ (termless wayang). Accompanied by the sincretic gamelan group
NKRI (Nindakake Karawitan Religi Islami), this two-act show was performed on
the opening day, in front of the wider community and policymakers.