Jompet Kuswidananto
menyelidiki apa yang tersisa dari momen transisi kekuasaan dan revolusi di
Kaliurang. Beberapa sesepuh di
Kaliurang mengalami sendiri pergolakan dan
mengingatnya dengan cara masing-masing: terkadang rapuh,
bercampur dengan berbagai trauma, doktrin,
mimpi, dan kepercayaan spiritual. Proyek ini mempercayai dan menghargai bagaimana masyarakat
Kaliurang berjuang melawan kekerasan di antara sesama manusia di tengah lingkungannya yang terus berubah sepanjang
waktu. Svetlana
Boym menyadari nostalgia reflektif semacam ini sebagai pembeda dari identitas
nasional tunggal; ingatan yang hadir lebih sebagai ingatan sosial yang terdiri
dari kerangka pikiran kolektif – sebuah perayaan atas detail alih-alih simbol. Dari percakapan tanpa
akhir dengan para sesepuh, sebuah gambaran atas desa yang tenang
muncul di tengah-tengah pusaran kekuasaan yang terus berubah ketika tetangga
Belanda mereka yang ramah dan fasih berbahasa menghilang; digantikan oleh
orang Jepang yang keras dan kejam yang menyiksa perlahan-lahan
penduduk desa melalui kelaparan, kemiskinan, dan progaganda; sebuah momen
penting menuji kemerdekaan ketika tiba-tiba sang presiden, wakil presiden, dan
menteri-menterinya tinggal di Kaliurang; dan dalam waktu sesaat – digantikan
lagi oleh kelompok Belanda yang datang, namun bukan tetangga lama mereka yang
baik hati melainkan para pemarah yang agresif yang tidak mereka kenal sama
sekali; para pemarah yang nantinya diusir melalui revolusi dengan campur tangan
ilmu gaib nan misterius beserta kisah-kisah hebat lainnya.
_____
Jompet Kuswidananto investigate what remains of the
transition moment of power and revolution in Kaliurang. Some of the senior
citizen in Kaliurang experienced the turbulences themselves and remember it in
their own way: sometime fragile, mixed with a dose of trauma, doctrine, dream,
and spiritual believe. The project belief and appreciate how the people of
Kaliurang struggled against violence between fellow humans. At the same time
the surrounding keep changing all that time. Svetlana Boym recognize this
reflective nostalgia as distinction to single-plot national identity; and
present more as a social memory that consists of collective framework—a
celebration of details instead of symbols. From the endless conversation with
the senior citizen, an image of a serene village appear amidst the ever-changing
vortex of power when their neighboring Dutch who speaks perfect Javanese were
gone; replaced by stern Japanese who slowly tortured the villagers using
famine, poverty, and propaganda; a short independent moment when suddenly the
young president, vice president, and their ministers were staying in Kaliurang;
and for a brief moment in time—replaced again when a group of Dutch arrived,
but no longer their old friendly neighbors and instead: angry aggressive types
they are not familiar with; who later got kicked out through the revolution
with a daze of mysterious occult and other fantastic stories.
Site #07: PPAY
Jl. Pramuka No.11 - Kaliurang