Melalui kisah dan percakapan dengan para tetua, Maryanto menemukan cerita bahwa berpuluh-puluh tahun yang lalu terdapat pohon bendo dan pohon pule besar di area pemakaman tua ini. Pohon itu begitu besar sehingga jika seseorang mendaki bukit Plawangan dan bukit Turgo, mereka bisa melihat pohon tersebut dan mengetahui arah pulang. Kawanan kelelawar dan pohon gagak mendiami kedua pohon tersebut, menambah angker suasana area pemakamannya. Konon jika akan ada berita lelayu, kawanan gagak tersebut akan ramai-ramai beterbangan ke arah akan datangnya berita lelayu tersebut, seakan memberikan pertanda dan firasat. Saat itu, area sekitar pemakaman ini begitu terlindungi dan terjaga kelestariannya karena keangkeran tersebut. Ketika akhirnya pohon itu mati, batangnya digunakan untuk membangun SD Kaliurang 2 dan perlahan-lahan keangkeran area tersebut sirna. Laju pertumbuhan populasi, pencarian lokasi turisme baru, dan kebutuhan ruang yang bertambah semakin mendorong hilangnya makhluk lain-- mulai dari binatang, tumbuhan, hingga para penjaga alam. Pertanyaannya adalah, mungkinkah memperlambat laju gentrifikasi dan perkembangan sebuah area dengan menghidupkan kembali kearifan lokal dan mitologi beserta kembali meletakkan makhluk halus pelindung alam ke tempat asalnya? Dengan terus menghormati kepercayaan pada hadirnya makhluk lain dan mensakralkan area sumber daya alam, akankah kita mampu melakukan konservasi alam yang berkelanjutan? Dalam karya pertunjukannya bekerjasama dengan Azis sang juru tembang dan warga setempat, Maryanto menghadirkan penghormatan terakhir bagi pohon bendo dan pohon pule yang mati di pemakaman ini. Di waktu yang sama, ia menanam sebuah pohon pule baru di lokasi tersebut dengan harapan supaya satu hari nanti, kisah tentang pohon pule yang begitu besar dan bisa dilihat jelas dari puncak bukit bisa diteruskan ke generasi berikutnya.
Artist: Maryanto | “Requiem for a Tree”