Sebagai bentuk lanjutan dari karyanya dalam putaran pertama 900mdpl, Rachmat Affandi meneliti tentang sanad dengan lebih jauh dan menemukan pentingnya posisi laku yang terputus setelah terjadinya paten obor (matinya obor) akibat kematian pemikir-pemikir sebelumnya. Bagi Rachmad, setidaknya dengan berziarah membersihkan makam merupakan upaya merawat ingatan pengetahuan tentang leluhur kita supaya tidak kepaten obor dan kehilangan apinya.
Jika sudah kepaten
obor bisa saja kita hanya menganggap pengetahuan itu adalah mitos dan dongeng
ajaib belaka-- lebih-lebihnya menjadi bid'ah. Sementara itu, pengetahuan yg
ditinggalkan itu merupakan metode-metode yang telah teruji dan telah didesain
dengan laku panjang, membangun kepekaan rasa terhadap alam dan penghuninya.
Selain itu, pengetahuan ini memiliki sanad yang jelas supaya kita menjadi
manusia sejati manunggal yg tau sangkan paraning dumadi (dari mana berasal dan
kemana kita kembali). Hal ini dipahami dalam istilah sufi ‘wahdatul wujud’.
Durational performance Rachmad Afandi ini dilakukan di makam Mayang Sari, salah satu makam para tetua di Kaliurang, dan proses membersihkan makam tersebut diiringi oleh tembang dan doa.
Dalam putaran kedua,
karya ini kembali dipamerkan di area padukuhan lama, tempat warga kerap
berkumpul untuk melakukan pertemuan, upacara adat, ritual, dan acara lainnya.
--> info lengkap karya ini bisa dilihat di putaran pertama 900mdpl (2022)
_____
As a continuation of
his work in the first cycle of 900mdpl (2022), Rachmat Affandi continue his
research on the topic of sanad and found the importance of laku that was
interrupted after the occurrence of the pati obor (death of the fire torch) or
the multiple death of the knowledge bearers.
For Rachmad, at least making a pilgrimage to clean the tomb of the
ancestor can be seen as a gesture to maintain the memory and the knowledge of
our ancestors to continue passing the torch and not let the fire die.
If the torch is
patented, people might simplify that local embodied knowledge is a myth and a
magic tale– even more so as a heresy.
Meanwhile, the embodied knowledge of the past are methods that have been
tested and have been designed through a longer practice of building sensitivity
to nature and its inhabitants. In
addition, this knowledge has a clear chain of events so that a person becomes
truly complete in understanding paraning dumadi (where we come from and where
we return to). This can be understood in
the Sufistic term 'wahdatul embodiment'.
The durational
performance by Rachmad Afandi is performed at the Mayang Sari cemetery, one of
the older cemeteries of the Kaliurang’s elderly. The process of cleaning the tomb was
accompanied by songs and prayers.
In the second cycle, this work returns to the old padukuhan area, where residents often gather to hold meetings, traditional ceremonies, rituals, and other events. --> complete work info can be found at cycle 1 exhibition.